Rabu, 12 Januari 2011

Negeri Lelucon

Media Indonesia
Senin, 10 Januari 2011 00:00 WIB


DI manakah negeri tempat terdakwa penggelapan pajak leluasa keluyuran ke mancanegara? Di manakah pula tersangka atau terdakwa bisa menjadi kepala daerah?

Jawabnya, di negeri lelucon bernama Indonesia, tempat hukum bisa dipermainkan semaunya. Inilah negeri tempat penyelenggaraan negara berlangsung suka-suka, seperti main-main.

Lelucon paling mutakhir adalah pelantikan Jefferson Rumajar, terdakwa kasus korupsi yang tengah mendekam di penjara Cipinang, sebagai Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara.

Jefferson didudukkan ke kursi pesakitan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika seseorang dijadikan tersangka oleh KPK, bisa dipastikan dia akan menjadi terdakwa dan kemudian terpidana. Sebab, bukankah KPK tak punya wewenang menghentikan penyidikan perkara korupsi sebagaimana kepolisian atau kejaksaan?

Akan tetapi, pemerintah tetap melantiknya karena statusnya masih terdakwa, alias belum berkekuatan hukum tetap sebagai terpidana. Ditilik dari prinsip asas praduga tak bersalah, ia berhak menjadi kepala daerah.

Begitulah, Jefferson tetap dilantik menjadi kepala daerah atas dasar akal-akalan terhadap hukum positif.

Maka, bertambahlah jajaran kepala daerah yang menyelenggarakan pemerintahan daerah dari balik jeruji penjara. Bahkan, Jefferson dengan gagah perkasa melantik sejumlah pejabat Kota Tomohon di LP Cipinang. Celakanya negaralah yang memfasilitasi berlangsungnya lelucon itu.

Hukum positif rupanya tidak mengenal rasa malu. Menjadi pejabat pun rupanya tidak memerlukan rasa malu. Buktinya, pejabat Kota Tomohon tidak malu dilantik oleh seorang terdakwa, dan tidak malu dilantik di dalam penjara.

Pelantikan Jefferson jelas merupakan ironi demokrasi. Demokrasi ternyata gagal menghasilkan kepala daerah yang jujur, bersih, dan tahu malu.

Partai politik menyumbang andil yang besar. Sebab, alih-alih melakukan pendidikan politik agar rakyat memilih kepala daerah yang jujur, parpol lebih berkonsentrasi merebut kekuasaan untuk memenangkan calonnya, termasuk dengan cara menghalalkan politik uang.
Bukannya melakukan pendidikan politik, partai politik plus kandidat kepala daerah yang diusungnya, malah melakukan pembodohan politik kepada rakyat.

Itulah sebabnya banyak tersangka terpilih sebagai kepala daerah atau kepala daerah terpilih yang kemudian menjadi tersangka. Sepanjang tahun 2010 tercatat 148 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka.

Jika tetap berpegang pada teks hukum positif, bakal bertambah tersangka atau terdakwa yang dilantik sebagai kepala daerah.
Itu artinya negeri ini masih akan menjadi negeri lelucon, entah sampai kapan. Dan, dunia pun tertawa.



Kritik Keras Tokoh Agama

Media Indonesia.com
Rabu, 12 Januari 2011 00:01 WIB

KRITIK datang silih berganti ditujukan kepada pemerintahan Presiden Yudhoyono. Bahkan, pada hari yang sama, Senin (10/1), kritik keras dilontarkan dua kalangan yang berbeda.

Yang pertama berasal dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Ia menilai negara gagal meletakkan fondasi dasar bagi pencapaian kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Sumber kegagalan itu ialah pemimpin yang hanya mementingkan pembangunan citra.

Kritik dari partai oposisi tentu perkara yang lazim. Sepatutnya partai oposisi setiap awal tahun, terlebih di hari ulang tahun partai, menyampaikan evaluasi yang tajam kepada yang berkuasa.
 
Yang extraordinary ialah bila pemuka lintas agama juga menyampaikan kritik, bahkan lebih keras dan lebih pedas.
 
Dan itulah yang terjadi. Sembilan pemuka agama, terdiri dari Syafii Maarif, Andreas A Yewangoe, Din Syamsuddin, Uskup D Situmorang, Biksu Pannyavaro, Salahuddin Wahid, I Nyoman Udayana Sangging, Franz Magnis Suseno, dan Romo Benny Susetyo, menganggap pemerintahan Presiden Yudhoyono telah gagal mengemban amanah rakyat. Sudah terlalu banyak kebohongan yang dilakukan pemerintah atas nama rakyat.

Lebih dari itu, para pemuka agama itu berjanji mengajak umat mereka untuk memerangi kebohongan yang dilakukan pemerintahan Presiden Yudhoyono.

Mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif bahkan mengingatkan pemerintah, mulai presiden hingga kepala desa, untuk membuka telinga lebar-lebar. "Telinganya harus dibuka untuk mendengar aspirasi rakyat. Jangan ditutupi telinganya."

Pemuka agama meminta pemerintah membuka telinga, jelas, seruan yang sangat tajam. Ini menunjukkan pemerintah, yang dipilih rakyat itu, sudah tidak peduli dengan suara rakyat. Membuka telinga saja enggan, apalagi mengubah kebijakan yang keliru. Dari perspektif itu, tidaklah mengherankan bila tingkat kepuasan publik terhadap Yudhoyono terus merosot sejak Juli 2009.

Menyebut pemerintah berbohong, jelas, penilaian yang sangat negatif. Sebab itu menyangkut legitimasi moral yang mendalam. Bukankah siapa pun yang berbohong tak pantas dipercaya?

Terlebih, karena yang tidak percaya itu adalah para pemuka agama, yang menyandarkan diri pada nilai-nilai yang dipertanggungjawabkan terutama secara vertikal, yaitu kepada Sang Khalik.

Suara mereka jelas suara yang bersih dari kepentingan sempit. Suara mereka bukan suara oposisi yang memang selayaknya menekankan segi-segi kegagalan yang berkuasa. Oleh karena itu, sesungguhnya tiada alasan bagi Presiden Yudhoyono untuk tidak mengindahkannya.

Pertanyaannya, apakah kritik itu didengarkan? Apakah pemerintahan Presiden Yudhoyono membuka telinga?

Tak mudah untuk jujur. Lebih mudah memproduksi kebohongan demi kebohongan untuk menutupi kegagalan. Padahal, honesty is the best policy. Termasuk, jujur untuk mengakui gagal....


Ha…ha…ha. Negeri Lelucon. Negeri Dongeng. Dan entah apa lagi yang pantas untuk menjuluki negeri yang sesungguhnya indah, subur, makmur dan bersahaja ini. Lucu, tertawa, sekaligus menangis.

Beginikah nasib bangsa dan negeri ini ?  Haruskan bangsa ini terus mengalami penistaan seperti ini ? Sampai kapankah, bangsa dari negeri subur makmur ini bisa berdiri tegak tanpa rasa malu oleh ulah dan tingkah pola memuakkan dari para “pemimpinnya” ? Bilakah bangsa ini tak lagi harus tertunduk malu akibat dipimpin oleh segerombolan kriminal ?

Sesungguhnya, yang membuat bangsa ini sering dilecehkan oleh bangsa lain adalah bukan karena kebodohan atau kemiskinan rakyatnya, tapi oleh…...PEMIMPINNYA !!  Dan itu, selalu ditampik dan dibantah oleh PARA…SANG….PEMIMPIN ! Dengan seribu dan sejuta alasan. Dengan segudang diplomasi yang memuakkan !!!!

Tidak malu-malunya “sang pemimpin” negeri ini mempertontonkan drama kebodohannya !  Tidak malu-malunya “sang pemimpin” negeri ini berkelit dari seluruh tanggung jawabnya ! Tidak malu-malunya “para pemimpin” negeri ini duduk santai di singgasana kekuasaannya, seakan singgasana kekuasaan itu milik nenek moyangnya sendiri ! Suka-suka hati buat kebijakkan ! Suka-suka hati membolak-balik aturan ! Suka-suka hati mempermainkan nasib ratusan juta bangsa ini hanya demi kesenangan dan hawa napsunya !!!

Tanpa rasa malu, mengajukan kenaikan gaji dan tunjangan, seakan tak puas dengan harta yang sudah demikian melimpah. Tanpa rasa malu mereka berebut kue kekuasaan ini. Membagi-bagi harta milik rakyat seenaknya dengan dalih hak dan kewenangannya mengatur anggaran !  Gaji naik, tunjangan naik. Gedung minta diperbaharui. Rumah minta di perbaiki. Jalan-jalan minta diongkosi. Apa saja minta di layani. Sementara masih banyak rakyat yang kelaparan. Banyak gedung sekolah yang roboh. Banyak rakyat sakit yang meregang nyawa karena tidak bisa (mampu) berobat. Banyak ibu-ibu yang stres lalu bunuh diri dan membunuh buah hatinya karena tak kuat terhimpit beban hidup yang semakin berat. Banyak anak bayi yang busung lapar. Kemana mata, telinga dan hati kalian  Wahai para “sang pemimpin” ??!!

Belum cukup dengan segudang fasilitas dan tunjangan, masih juga kalian.... K O R U P S I !. Maling !!

Kalian tidak yakin akan mati ?! Kalian tidak yakin adanya Sang Maha Mengawasi ?! Katanya kalian beragama ? Katanya kalian berfalsafah Pancasila ?! Mana semua itu ?! Apa kalian tidak beragama ?! Apa kalian tidak percaya adanya Tuhan ?! Apa kalian…..Sss…sett…ttaaaannn ??!!!

Sudah lelah rasanya segala elemen bangsa dan rakyat ini memperingatkan kalian. Tapi kalian, wahai para “sang terhormat”…. Wahai “para pembesar”….tidak menggubris !!! Kami muak !!!

Kalian terus pertontonkan drama memuakkan dan menyakitkan. Kalian terus lakoni peran pecundang tanpa rasa malu sedikitpun. Bahkan agama kalian bawa-bawa untuk menipu ! Kalian memang….Iblis !!!

Rakyat terus kalian sakiti. Rakyat terus kalian bodohi. Rakyat terus kalian pecundangi. Apa kalian menunggu murka rakyat kalian ?

Sikap dan tindak tanduk kalian seperti orang tak bermoral, bahkan tak ber-Tuhan. Kalian berlindung pada hukum yang kalian buat sendiri dengan seenaknya. Bahkan hukum Tuhan-pun bila perlu kalian permainkan !!

Enyahlah kalian semua !!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar