Selasa, 11 Januari 2011

Euforia Kekuasaan


Ani, Puan, dan Ical
Media Indonesia
Selasa, 04 Januari 2011 00:00 WIB 

TAHUN 2011 baru berumur empat hari. Namun, agenda partai-partai, terutama partai besar, mulai terseret ke pencarian tokoh calon presiden untuk Pemilihan Umum 2014 yang masih tiga tahun lagi.

Nama Ani Yudhoyono, Puan Maharani, dan Aburizal Bakrie paling santer disebut. Bahkan santer pula diperdebatkan peluang dan tantangan mereka.

Ani adalah istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tokoh paling berkuasa di Partai Demokrat. Puan adalah putri Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Aburizal Bakrie, yang akrab disapa Ical, adalah Ketua Umum Partai Golkar.

Adakah yang salah dengan pemunculan nama-nama itu dalam bursa pencarian calon presiden 2014? Tidak ada yang salah, memang. Demokrasi telah memberi hak kepada setiap anak bangsa untuk menjadi presiden. Bukan monopoli siapa-siapa.

Akan tetapi, adalah sebuah kekeliruan besar ketika partai-partai mulai tersita oleh agenda calon presiden 2014 sejak hari ini, tiga tahun dari waktunya. Seluruh energi pemimpin partai disandera untuk kepentingan calon daripada kepentingan publik.

Coba dibayangkan kalau Partai Demokrat sejak sekarang menyepakati Ani Yudhoyono sebagai calon mereka untuk bertarung di 2014. Menurut kalkulasi para petinggi Demokrat, peluangnya semakin besar kalau berpasangan dengan Puan Maharani.

Ketetapan hati seperti itu, suka atau tidak suka, akan sangat memengaruhi fokus agenda SBY pada persoalan-persoalan rakyat banyak. Sadar atau tidak, SBY akan terbawa dalam agenda itu. Konsentrasi dan komitmen pada kepentingan publik akan dikacaukan pertimbangan-pertimbangan popularitas Ibu Ani.

Kapasitas dan kapabilitas SBY sebagai pemimpin negara terlalu dini disempitkan pada wilayah Partai Demokrat dan pencalonan Ibu Ani. Sayang tiga tahun yang tersita terlalu dini. Sayang juga bila waktu lima tahun hanya dipergunakan optimal dua tahun untuk kepentingan publik.

Dari perspektif yang sama, keluhan serupa juga patut dialamatkan kepada Ical. Sebagai anggota koalisi, apalagi sebagai ketua harian sekretariat gabungan, pencalonan dirinya oleh Golkar terlalu dini diagendakan.

Sebagai anggota koalisi, harus ada keterikatan etis juga. Tidaklah etis jika pemimpin partai anggota koalisi sejak dini memosisikan diri sebagai penantang calon-calon lain. Padahal koalisi dibentuk untuk menyatukan komitmen paling tidak agar tidak terlibat kompetisi terlalu dini. Hanya dengan begitu koalisi aman.

Bagi Puan, sesungguhnya tidak salah jika sejak awal namanya dimunculkan sebagai calon presiden. Itulah tabiat oposisi yang wajar.
Tetapi ketika dimunculkan sebagai pendamping Ani Yudhoyono, peluang Puan sebagai oposisi terancam.

Jadi, tidak ada yang salah jika mereka semua berniat menjadi presiden. Namun, momentumnya terlalu dini. Kasihan rakyat yang kepentingannya terlalu dini ditinggalkan kepentingan partai dan calon. Dan, jangan lupa untuk mengasah sensitivitas agar tidak terjebak pada nafsu-nafsu pelestarian kekuasaan klan yang terbukti keliru di masa lalu.


Pesta demokrasi masih tiga tahun lagi, tapi persiapan untuk menyambut moment itu sudah mulai terdengar saat ini, terutama oleh para pemeran utama lakon itu. Partai-partai politik dan politisi mulai ancang-ancang untuk berlomba memulai start dalam pertarungan demokrasi lima tahunan itu tanpa (seakan) tak perduli dengan tugas dan amanatnya yang mereka emban saat ini. Seakan pula tak memperdulikan keadaan masyarakat dan bangsa, serta segudang permasalahan bangsa ini yang seharusnya menjadi perhatian utama mereka. Apakah memang kekuasaan dan materi itulah yang menjadi tujuan utama mereka ?

Rakyat hanya dilibatkan saat mereka membutuhkannya. Saat mereka menginginkan dukungan, namun setelahnya, justru rakyat yang dijadikan objek dari kekuasaan yang awalnya didapatkan (dipercayakan) rakyat pada mereka. Kekuasaan di tangan mereka, seakan sebuah boomerang bagi rakyat, yang dapat mencelakai dan mencederai pemiliknya sendiri. Kesalahan siapakah ini ?

Sesungguhnya masih teramat banyak permasalahan bangsa ini yang membutuhkan perhatian khusus dan juga penanganan serius dari mereka-mereka yang telah diberi mandat dan kepercayaan oleh rakyat. Mandat dan kepercayaan yang diberikan kepada mereka, bukanlah hadiah, tapi amanat.  Amanat yang akan dimintai pertanggung jawabannya kelak. Maka, idealnya, seorang pemegang amanat adalah seorang yang bertanggung jawab.

Akan sulit rasanya kita bayangkan, dan akan tragis akibatnya bila amanat yang besar ini, jatuh ke tangan mereka-mereka yang bermental tak bertanggung jawab. Mereka akan mudah saja melepas tanggung jawab dan mengingkari amanat yang dibebankan dan dipercayakan kepada mereka. Maka yang menjadi korban akhirnya adalah rakyat jua. Disini kita sebagai rakyat, seharusnya sudah belajar banyak dan dapat membedakan dan memilih, siapa-siapakah yang pantas kita beri kepercayaan dan amanat. Kepercayaan dan amanat yang mempengaruhi kelangsungan hidup seluruh rakyat dan bangsa ini, baik masa kini maupun masa yang akan datang. Baik di generasi kita saat ini, maupun generasi kita dimasa yang akan datang.

Satu hal yang harus menjadi fokus perhatian kita, masa-masa yang lalu sudah kita dapat lihat, siapa-siapa saja yang telah memberi kontribusi positif untuk bangsa ini dan siapa-siapa saja yang belum atau tidak memberikan kontribusi positif untuk bangsa dan negara ini.

Jangan lagi kita tergiur oleh janji-janji muluk dari para petualang-petualang politik yang sesungguhnya mereka hanyalah menginginkan keuntungan untuk dirinya sendiri dan atau hanya untuk kelompok dan golongannya sendiri. Bermanis-manis kata, obral janji-janji muluk dan sibuk meniupkan angin surga pada awalnya, namun pada akhirnya, mereka jugalah yang mengingkari dan mengkhianatinya.

Jangan lagi kita terpesona oleh sosok ketampanan, kegagahan, ataupun kecantikan mereka. Kita harus jeli dan teliti, menilai mereka dari sejak awal. Track Record mereka selama ini haruslah menjadi catatan penting dalam kita memutuskan apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Masih berjuta-juta kader dan anak bangsa yang belum terekspose dan tereksplore. Masih banyak bibit-bibit bangsa yang potensial, yang dapat kita majukan. Potensi-potensi lama yang telah kita kenal dan ternyata tidak mampu membuktikan kata-kata dan ucapannya selain hanya statement-statement sepihak dari mereka sendiri tanpa didukung oleh publik luas, seharusnya, berani kita tinggalkan dan tak gunakan lagi. Itu kalau kita menginginkan perubahan. Konsistensi kita untuk meninggalkan yang lama, yang usang dan tak produktif lagi, memegang peranan penting demi perubahan kita dimasa depan.

Sesungguhnya, yang diperlukan bangsa ini, bukanlah orang-orang pintar. Yang dibutuhkan bangsa ini adalah orang-orang jujur, yang dapat memimpin bangsa ini dengan hati bersih.  Jujur kepada dirinya sendiri. Jujur kepada lingkungan keluarga, masyarakat dan bangsa. Jujur akan kemampuan dan niatan dirinya, untuk memimpin bangsa ini keluar dari kemelut yang telah sekian lama mendera dan menyelimuti bangsa ini. Itulah sesungguhnya hakikat dari seorang pemimpin.

Ya, kita membutuhkan Pemimpin, bukan Pemerintah yang hanya bisa memerintah dan atau Penguasa yang hanya perduli pada kekuasaannya saja. Kita butuh Pemimpin yang mampu berada di garis depan dan memberi bimbingan dan arahan akan langkah dan tindakan kita ke depan dengan penuh disiplin dan tanggung jawab. Pemimpin yang mampu mengajak seluruh elemen bangsa untuk bersatu padu menyatukan langkah dan kerja, demi perbaikan seluruh bangsa. Pemimpin yang mampu mengarahkan, memotivasi orang-orang pandai dan pintar, agar mengarahkan mereka dan mendaya gunakan potensi mereka ke arah yang produktif terhadap bangsa dan negara. Pemimpin yang sekaligus pula dapat mengendalikan kekuasaannya untuk mengawasi dan menindak siapapun yang melakukan tindakan-tindakan dan upaya-upaya destruktif atau kontra produktif terhadap bangsa dan negara ini. Semoga saja kita segera mendapatkan sosok Pemimpin seperti itu. Semua tergantung pada diri kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar